Judul Buku : Satu Kampung Tiga Maestro, Biografi Sardono W Kusuma, Mlayawidada, dan S. Ngaliman
Penulis : Heri Priyatmoko
Penerbit : Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Direktur Jenderal Kebudayaan
Kampung memang identik dengan yang kuno, yang lama, yang aus. Namun siapa sangka di dalam “kampung” itulah tersimpan aneka kearifan dan nilai hidup masyarakatnya. Modernitas memang boleh berjalan serba cepat, namun kita masih bersyukur mendapati ‘kampung’ yang di dalamnya kita masi bisa menimba kearifan hidup. Di kota Solo terdapat kampung yang ternyata memiliki tradisi dan kekuatan budaya yang kental yang menjadi rahim lahirnya seniman kondang. Kampung itu adalah kampung Kemlayan.
Kampung Kemlayan menjadi studi yang digeluti oleh Heri Priyatmoko bertahun-tahun. Penelitian itu tidak hanya dituangkan dalam tesis maupun jurnal, namun menjadi buku biografi yang dokumentatif dan naratif di buku Satu KampungTiga Maestro (2020). Kemlayan menjadi pilihan penulis dilatari oleh pergaulan penulis dengan gurunya Soedarmono SU yang dulu kerap dolan ke rumah Sardono W Kusumo. Waktu pun bergulir, tatkala sang guru tutup usia, kini penulis pun tidak menyangka akan menuliskan kisah Empu tari kontemporer bersama Empu Karawitan (Mlayawidada) dan Empu Tari Jawa gaya Surakartan (Ngaliman Tjondro Pangrawit).
Pembaca bisa merasakan satu kedekatan yang amat dalam antara penulis dengan objek yang diteliti. Kita akan mendapati aroma sastrawi saat membaca buku biografi tiga seniman ini. Kedekatan objek dengan peneliti membuat bahasa dan pengalaman penulis menyatu dalam buku Satu Kampung Tiga Maestro (2020).
Kemlayan dan tiga seniman kondang ini ditulis dengan misi mengangkat ke publik laku “nggetih” (berdarah-darah) ketiga seniman dari Kemlayan ini yang mengangkat harum kampung halaman mereka dan juga “Indonesia” ke ranah manca negara.
Nuansa Kemlayan yang lekat dengan budaya “srawung” antar seniman, juga lengket dengan tradisi ngangsu kawruh (saling berguru) antar seniman membuat kampung ini tidak kesulitan untuk menjaga kelestarian tradisi di kampung ini.
Ketelitian dan ketekunan kepada arsip lawas membuat kita semakin memahami bagaimana latar atau setting tokoh yang kita tulis dalam penelitian biografis menjadi begitu hidup. Heri Priyatmoko mengutip buku Wedhapradangga : Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan karangan R.Ng. Pradjapangrawit, ia mengisahkan bahwa leluhur warga Kemlayan dikenal tekun dan tidak patah semangat merembeskan pengetahuan gending karawitan terhadap anak cucunya (h.23). Kemampuan ini dibangun dengan membangun ekosistem lingkungan yang membentuk Kemlayan sebagai kampung pangrawit, rahim para seniman. “Di kala senggang antara pangrawit yang satu dengan yang lainnya saling berkunjung untuk nabuh gamelan dan diskusi aspek garap suatu gending untuk kepentingan kelompok yang hendak dipersembahkan kepada raja.” (h.27). Selain keturunan para empu, bocah Kemlayan akrab dengan gending yang ditabuh saban hari yang membuat tubuh mereka menyerap karawitan sebelum memainkannya. Singkat cerita, Kemlayan memang seperti ruang bagi tumbuh berkembangnya dunia seni yang kelak melahirkan para empu seni yang menembus zaman.
Proses Kreatif
Terekam dalam buku Satu Kampung Tiga Maestro proses kreatif ketiga seniman yang kelak menjadi empu di bidangnya masing-masing. Tokoh yang menjadi pembuka dan cukup banyak dibahas di buku ini adalah Sardono W Kusumo.
Sardono kecil dulunya bukan siapa-siapa. Ia tumbuh dan menaruh minatnya dalam bidang tari atas besutan gurunya yang juga empu tari Kusuma Kesawa. Gurunya mendidiknya gaya tari khas Surakarta yang terkenal halus. Sardono resah, ia menganggap kreatifitas, serta eksplorasi di kalangan para seniman tari begitu minim kalau tidak dibilang hampir tidak ada. Ia mencoba sesuatu yang baru dalam tari. Ia mengeksplorasi dan menciptakan gaya sendiri dalam menari. Sardono menjadi buah bibir setelah pentasnya di tahun 1971. Dirinya manggung menarikan Samgita Pancasona di Solo. Naas ia dilempari batu dan telur busuk saat njoged di atas panggung. Liputan Kompas membeberkan kreatifitas Sardono itu. Siapa sangka apa yang dilakukan Sardono bertuah berkah. Dirinya justru mendapat kesempatan keliling Indonesia untuk menghayati aneka kesenian dari seluruh daerah di Indonesia berkat sokongan Dewan Kesenian Jakarta waktu itu. Pengembaraannya ke daerah-daerah di Indonesia akhirnya melahirkan kreasi tari yang cukup indah dan digarap serius. Hingga ia dikenal sebagai Empu atau maestro tari kontemporer. Ketekunannya menggarap tari kontemporer yang ia teliti cukup lama saat di Bali membawanya njoged di Perancis. Ia turut membawa harum Indonesia di negeri lian.
Seniman yang kelak menjadi Empu berikutnya adalah Mlayawidada. Ia dibesarkan dan diasuh oleh ragam acara budaya kesenian di Kemlayan. Acara macapatan, klenengan, wayangan, jogedan, dan guyonan memeluk Mlayawidada di kesehariannya. Darah seninya mengalir dari kakeknya Ranapangrawit dan kakaknya Truna Mlaya. Tidak heran ketika ia berusia 10 tahun, ia sudah nabuh gamelan di ndalem sasanamulya dengan upah 0,25 oleh komandan regu pangrawit (h.154).
Mlayawidada sempat menjadi seniman niyaga di Keraton Surakarta. Setelah Indonesia merdeka, Mlayawidada dan seniman Kemlayan yang lain keluar dari Keraton karena pengahasilan mereka menipis seiring memudarnya pamor keraton. Mereka menempuh jalan tengah dengan menjadi seniman pangrawit keraton namun juga ngamen atau menerima tanggapan saat masyarakat membutuhkan. Mereka punya misi mengenalkan kepada publik sekaligus mengharapkan penerus atau regenerasi selain upaya menambah dan menutup kantong dompet yang jebol akibat kebutuhan yang kian banyak.
Ketekunan Mlayawidada kelak berbuah manis. Ia mendapati undangan dari Presiden National University of Fine Arts and Music, Prof. Yoshmichi Pujimoto. Ia sempat tinggal di Jepang dari 28 September hingga 7 Oktober 1987. Mlayawidada membawa gamelan ke negeri sakura dan membawa harum Kemlayan.
Seniman yang terakhir adalah Ngaliman Tjondro pangrawit. Berawal sebagai seorang penabuh gamelan, Ngaliman bertekun mengikuti dan mengayati setiap gending dan juga gerakan tari khas surakarta. Ia kemudian berhasil menciptakan tidak kurang dari 46 tari yang menjadi buah karya monumentalnya beserta gendingnya (h.220). Ketekunannya berkarya mengundang Indonesianis asal Belanda Clara Brakel. Nama Ngaliman Tjondropangrawit pun mengepak sampai ke negeri manca.
Sejarah tidak selalu ditulis oleh orang yang punya kuasa. Ketiga seniman kondang ini lahir dari rahim “kampung” Kemlayan. Ekosistem Kemlayan tidak bisa dipisahkan dalam membentuk dan melahirkan etos berkesenian. Mereka adalah orang-orang pinggir, yang dipinggirkan sejarah keraton maupun republik ini. Beruntung kita masih mendapati cerita biografis lewat buku yang ada di hadapan pembaca ini.
ARIF SAIFUDIN YUDISTIRA .
Alumnus Mastera Esai 2019, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo.
Discussion about this post