• Tentang Nongkrong.co
Senin, 1 Maret, 2021
  • Login
nongkrong.co
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event
No Result
View All Result
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event
No Result
View All Result
nongkrong.co
No Result
View All Result
Home Cerpen

Fisika Kuantum

Cerpen Kiki Sulistyo

redaksi by redaksi
Februari 9, 2021
in Cerpen
Reading Time: 5min read
0
blank
0
SHARES
678
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dua orang jompo duduk di bangku taman, dua burung beo bersahut-sahutan di kandang. Hari minggu, balon udara, novel yang baru setengah dibaca. Seorang guru fisika menerima kabar dari rumahnya; ibunya hilang. Tetangga dan keluarga sudah dihubungi, tak ada jawaban, tepatnya ada jawaban, tapi jawaban itu tidak menjawab apa-apa. Lalu polisi. Satu hari dengan polisi pastilah hari yang akan kau benci. Guru fisika tinggal di rumah sewa setelah mendapat kerja agak jauh dari rumahnya, rumah yang sebenarnya milik ayahnya. Rumah itu akan diwariskan kepadanya, sebab guru fisika anak semata-mata. Tapi itu masih akan lama, ayahnya sehat-sehat saja, bahkan masih akan tetap sehat ketika guru fisika tak lagi membutuhkan rumah.

Dua burung beo bersahut-sahutan. Penjual es lilin lewat sambil mendentingkan bel. Tunas tomat. Kalender harian disobek. Siaran dari rumah ibadah berayun-ayun antara daun mangga dan keluh tuna netra. Ada pernah seorang tuna netra menggandeng tangan gadis remaja. Itu pagi kesekian setelah pertemuan pertama mereka. Mulanya gadis itu yang menuntun si tuna netra, tapi lama-lama si tuna netra yang menggandeng si gadis. Keduanya menutup mata, satunya benar-benar buta, satunya lagi pura-pura tak bisa melihat. Mereka senang. Setiap hari minggu orang akan melihat mereka di taman, bergandengan, seakan sedang menyerbukkan biji-biji matahari.

Guru fisika berusia dua puluh tujuh, usia yang baik untuk mati. Tapi dia tak terpikir untuk mati, dia sedang senang sebab telah mendapat pekerjaan. Tapi kabar dari rumah sedikit membuatnya gundah. Bila ibunya hilang, siapa yang akan jadi pendamping ayahnya? Guru fisika mencari sebuah buku di ruang pustaka bagian belakang rumah sewanya. Sebuah buku yang berhubungan dengan fisika kuantum. Setelah menyusuri semua rak, yang sebetulnya cuma sedikit jumlahnya, buku itu tidak ditemukan juga. Guru fisika heran, dia kemudian malah mengambil sebuah novel.

Balon udara terapung di angkasa. Barbel terguling entah di mana. Sebuah novel. Lelaki tua dan Laut. Hemingway menembak diri sendiri ketika sudah memasuki usia tua. Si tuna netra tadi memilih jadi atlit binaraga setelah kisah kasih mereka jadi kisah tanpa kasih siapa saja. Siapa pula yang mendakwa bahwa si gadis remaja jadi turut buta lantaran pohon cahaya telah busuk buahnya? Padahal ia tidak buta, ia hanya tak ingin melihat dunia yang celaka. Setelah perang dunia kedua, banyak negara berdiri seperti batang-batang berduri. Apakah tak ada lagi yang dapat mendengar gema kehancuran dari puing-puing Hiroshima, tulang-tulang puisi yang terkremasi di sunyi Nagasaki?

Maka lahirlah Butoh, tarian pucat para mayat. Toh, sesuatu telah dicabut dari masa remajanya. Si gadis menemukan Butoh sebagai cara untuk merogoh jeroan dunia, jeroan yang terdapat dalam dirinya. Sampai mentornya jatuh hati dan berdua mereka hidup bersama dalam sebuah perahu yang tak tahu hendak berlayar ke mana. Siapakah aku, kata istri itu suatu waktu. Batu biru-bisu yang serupa jugun ianfu? Tapi ia senang, ia bersenang-senang. Dua burung beo bersahut-sahutan di kandang. Telaga bersinaran setiap cerlang purnama. Laba-laba tembus pandang menjulurkan seratnya, tempat para biku akan bergelantungan, memanjat benang cahaya itu, menuju nirvana.

Guru fisika memejamkan mata dan membayangkan dia adalah lelaki tua itu. Hemingway telah menciptakannya. Mungkin saat ini dia sedang berbaring di pasir pantai, membiarkan angin garam menjadi mantel bagi tubuhnya. Kisah pertarungannya dengan ikan besar akan dikenang setiap orang. Telepon kembali berdering; ibunya belum juga ditemukan. Ditambah satu hal lain, ayahnya mulai meracau. “Seperti harimau terkena ranjau,” ujar si penelepon. Guru Fisika tahu yang menelepon itu bukanlah keluarganya. Dia hanya seseorang yang pernah bekerja untuk keluarganya, menjadi tukang bersih-bersih, yang dipanggil sebulan sekali. Leluhurnya berasal dari Sumatera Barat. Si tukang bersih-bersih ingin jadi penyair. Guru Fisika tahu, sebetulnya sekarang si tukang bersih-bersih sudah jadi penyair ternama. Kalimatnya yang tadi berima menunjukkan betapa ia sudah piawai bermain kata.

“Aku harus pulang,” kata Guru Fisika memutuskan. Dia bersiap-siap. Perjalanan akan cukup lama. Ada vespa yang bisa dipakainya. Guru Fisika mandi dengan cara memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam bak, seperti Archimedes. Air naik dan tumpah oleh tekanan tubuhnya. Dia ingin berseru ‘eureka’ lalu berlari telanjang ke luar sana, tapi dia hidup di abad dua puluh, seluruh moral dan ilmu kedokteran bakal berkeluh bila melihat seorang guru berlari-lari dalam keadaan telanjang. Guru Fisika akhirnya mandi biasa saja. Tunas tomat bergoyang-goyang disiram angin yang datang dari pelabuhan.

Sebuah novel di kursi kayu. Kumbang berdengung, terperangkap kaca. Jendela hari minggu. Bulan pagi sumir seakan sudah tergelincir ke tubir sunyi. Guru fisika mengenakan baju panjang dengan motif naga, celana cutbray dan sepatu hitam. Dia bersiul-siul ketika menyisir rambut hingga cermin di depannya seperti tergenang kabut. Dia keluarkan vespa, lalu setelah memanaskan mesin, dia pun melaju di jalan perumahan.

Dua orang jompo membayangkan musik walsa. Konferensi penyair telah berlangsung di ibukota. Pesertanya lebih dari seratus orang. Si tukang bersih-bersih tidak diundang. Balon udara masih terapung-apung, seperti hari libur. Guru Fisika berkendara vespa keluar dari perumahan menuju jalan yang lebih besar. Suara vespanya renyah bagai kue beras. Kue beras yang nyaris setiap hari jadi menu si penari butoh ketika mentor yang kemudian jadi suaminya, melakukan harakiri. Mereka punya seorang putri. Mungil seperti mimis bedil.

Hari Minggu. Si putri itu dikabarkan hilang. Suaminya, pensiunan tentara yang lantas jadi pemain pantomim, tampak linglung. Setelah meracau, lelaki itu mengenakan kostum, lantas memainkan satu nomor sandiwara bisu itu dengan mimik sedih. Dia main di depan rumahnya selama delapan jam. Banyak orang datang menonton, tak sedikit yang melempar koin ke sekitar. Si guru fisika juga datang. Dia menyaksikan ayahnya bermain dengan terkagum-kagum, maka dilemparnya juga sejumlah koin. Lantas sambil mengusap airmata dilanjutkannya perjalanan mencari ibunya. Usianya dua puluh tujuh dan keyakinannya pada kehidupan mulai runtuh.

Sungguh terasa tiba-tiba, tetapi bukankah di Nagasaki dan Hiroshima sepasang bom itu juga jatuh tiba-tiba? Si guru fisika tak bisa lagi bertahan, dia menangis tersedu-sedu. Di suatu perempatan, dia belok kanan. Perutnya keroncongan, sisiran rambutnya berantakan. Toko roti. Rumah makan. Kios koran. Dia ingat, tadi si penyair tukang bersih-bersih bilang kalau puisi-puisinya ada terbit di koran ibukota hari itu. Si guru fisika masuk kios koran. Di bagian belakang kios ada ruangan kecil. Dua burung beo bersahut-sahutan dalam kandang. Si guru fisika tak jadi membeli koran. Dia pura-pura menanyakan koran yang tak pernah ada.

Kelihatannya sore akan tiba. Terasa dari angin dan garis matahari. Seorang biku muda berjalan di trotoar, jubah kuning tersampir di pundaknya. Si guru fisika tiba-tiba ingin jadi biku. Ingin memanjat benang cahaya untuk mencapai nirvana. Besok hari senin, dia harus kembali bekerja. Mengajarkan pada para siswa perihal ilmu pasti, sementara segala sesuatu di sekitarnya bergerak tanpa kepastian. Perutnya keroncongan. Dia ingin makan, ingin melakukan kegiatan paling dasar dan paling purba itu. Tapi kemudian yang dilakukannya ialah memacu kembali vespanya. Menuju taman.

Dua orang jompo duduk di bangku taman. Guru fisika mengenali salah satunya. Dia ingin menghampiri dan mengajaknya pulang, tapi segera diurungkan demi melihat jompo satunya lagi ternyata bermata buta. Guru fisika bahkan terbahak-bahak demi melihat si jompo yang buta itu mulai melepas pakaian, lalu seperti para atlit binaraga memamerkan otot-ototnya. Orang-orang lain yang kebetulan ada di taman itu ikut terbahak-bahak, mereka berkerumun menonton. Ada saja di antara mereka yang melempar koin ke depan si jompo atlit binaraga. Di antara para penonton, si guru fisika melihat ayahnya. Dengan masih mengenakan kostum pantomim, ayahnya melempar satu-persatu koin yang ia kumpulkan dari hasil delapan jam pementasannya. Taman jadi riuh. Segerombolan polisi datang. Mereka mengira ada unjuk rasa. Satu hari dengan polisi pastilah hari yang akan kau benci. Di tengah keriuhan itu, guru fisika tak lagi melihat ibunya. Telepon berdering. Si penyair mengabarkan peristiwa menghilangnya perempuan itu.

Kelihatannya malam akan tiba. Terasa dari angin dan garis bulan. Motif naga di baju guru fisika menggeliat seperti hendak terbang. Di dekat taman akan dibangun kedai es lilin. Dari tengah kerumunan konfeti ditembakkan, kembang api diluncurkan. Balon udara turun perlahan-lahan. Laba-laba tembus pandang menjulurkan seratnya. Biku yang tadi berjalan di trotoar melihat serat laba-laba dan mulai memanjat.  Dia berusia dua puluh tujuh.***

Blencong, 21 November 2020

 

blank

Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020). Cerpennya dimuat sejumlah media seperti Koran Tempo, Kompas, dan Suara Merdeka.

 

Tags: fisika kuantumHemingwayKiki Sulistyo
Next Post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

Discussion about this post

  • Trending
  • Comments
  • Latest
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
NONGKRONG. CO AWARD

NONGKRONG. CO AWARD

Februari 15, 2021
edit post
Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Februari 20, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

0
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (2)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (2)

0
edit post
Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Februari 27, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Februari 21, 2021
ADVERTISEMENT

Terbaru

edit post
Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Februari 27, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Februari 21, 2021
edit post
Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Februari 20, 2021
  • Disclaimer
  • Redaksi nongkrong.co
  • Kirim Tulisan
  • Tentang nongkrong.co

© 2020 Nongkrong.co - Tak selalu omong kosong

No Result
View All Result
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event

© 2020 Nongkrong.co - Tak selalu omong kosong

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In