Hampir pukul tiga dini hari dan gerimis belum juga reda—gerimis panjang yang membuat Syamsul Hadi menemukan alasan paling masuk akal untuk berteduh. Ahmad Saleh—sebagaimana Fahmi Idris—mengekor saja. Mereka membelokkan sepeda motornya dari jalan utama, memasuki sebuah gang panjang yang remang lalu menepi beberapa meter di samping Kasanofa Karaoke yang memperdengarkan suara sumbang seorang pengunjung.
“Tempat sialan!” gerutu Syamsul Hadi tiba-tiba “Kenapa belum juga bangkrut tempat karaoke sialan ini? Mampuslah kalian semua!”
Hanya Syamsul Hadi yang tahu persis, mengapa dia melontarkan kata-kata semacam itu. Ketika Ahmad Saleh dan Fahmi Idris hanya saling pandang, Syamsul Hadi semakin menjadi-jadi. Dia berjalan mendekati Kasanofa Karaoke dengan kesembronoan seorang pemabuk. Tepat di bawah neon box kecil yang bercahaya suram, dia pun berhenti dan mulai membuka ritsleting celananya. Wajahnya tampak sinis, terutama ketika air kencingnya meluncur deras ke tiang besi karatan yang berdiri kaku di depannya.
“Nih, minum ini! Biar bacot kalian tahu rasanya. Bacot kalian yang sombong!” teriak Syamsul Hadi tanpa beban.
Polah tingkah Syamsul Hadi itu membuat kedua kawan karibnya khawatir. Ahmad Saleh berusaha meredakan kekhawatirannya dengan membakar sebatang rokok—upaya yang cukup sia-sia di tengah gerimis semacam itu. Namun, ketika Syamsul Hadi terus meracau dan tidak kunjung pergi dari bawah neon box itu, Ahmad Saleh tidak bisa membiarkannya lebih lama. Dia bergegas merangkul pundak Syamsul Hadi dan membawanya menjauh dari depan pub-karaoke itu.
“Kamu sebenarnya mau ajak kita ke mana?” tanya Ahmad Saleh. “Atau seperti yang kamu bilang, ke tempat sialan inikah?”
Syamsul Hadi justru tertawa—tawa yang semakin membuat cemas kedua kawannya itu.
“Tenang kawan, kita akan ke tempat yang lebih merakyat. Sebentar lagi juga sampai. Nyalakan saja motornya!”
Tanpa membantah, Ahmad Saleh dan Fahmi Idris menghidupkan sepeda motornya. Mereka mengekor Syamsul Hadi yang berjalan setengah sempoyongan menyusuri jalanan kecil yang becek di tengah lahan terbengkalai itu. Jarak sepelemparan batu kemudian, sekelompok cahaya muncul dari sebuah kompleks bangunan. Syamsul Hadi—yang menolak dibonceng Fahmi Idris—menggegaskan langkahnya. Tepat di pintu masuk kompleks kecil itu, seorang pemuda tukang parkir menghampiri mereka. Tidak banyak kendaraan yang terparkir di tempat itu. Hanya ada beberapa sepeda motor dan sebuah mobil bak terbuka berwarna khaki kehijauan.
Di dalam kompleks hanya ada tiga kerumunan kecil, dengan empat sampai lima orang dalam setiap kerumunan. Mereka duduk santai menghadapi botol-botol bir yang menganga di atas meja, yang setiap kali isinya dituang ke dalam gelas, seseorang akan bersendawa sebentar atau tertawa lepas.
Di antara laki-laki yang menenggak bir dan merokok dan sesekali mengupas kulit kacang dan membicarakan apa saja tanpa beban itu, selalu ada seorang perempuan yang bertahan, berusaha betah mengimbangi mereka dengan sikapnya yang terlatih. Orang-orang itu tampaknya sudah terbiasa. Mereka bukan dari golongan yang baru saja mampir atau iseng mencari kesenangan sesaat pada tubuh perempuan di tempat remang-remang itu.
Hal yang sama juga tampak pada Syamsul Hadi. Dari gerak-geriknya, tampaknya dia hapal benar seluk-beluk tempat itu. Bahkan orang-orang di tempat itu ternyata juga sudah mengenalnya. Seorang laki-laki paruh baya tiba-tiba menepuk pundaknya, menyapanya seperti seorang kawan lama.
“Bajingan!” ujar laki-laki itu seraya tertawa. “Saya kira sudah mampus. Ayo, segelas dulu sebelum beraksi!”
Syamsul Hadi tidak bisa menolak. Disambutnya segelas bir itu dan menandaskannya dalam beberapa tegukan yang tak putus-putus. Namun, ketika laki-laki itu memintanya untuk bergabung di mejanya, dia menolaknya. Syamsul Hadi—diikuti Ahmad Saleh dan Fahmi Idris—memilih meja lainnya yang terletak di pojok kompleks bangunan kecil itu.
“Di sini lebih strategis,” ujar Syamsul Hadi. “Kalau kalian kebelet muntah, tinggal ke toilet itu. Tapi kalau sudah benar-benar tak tahan, tinggal melongok saja ke selokan sebelah. Dijamin aman-lancar pokoknya. Dan… gerimis masih panjang, kawan! Jadi, alangkah baiknya kalau kita tambah bir lagi. Bir!”
Seorang laki-laki berbadan tambun muncul dari pintu sebuah rumah yang masih terbuka. Rumah itu sepertinya adalah bangunan induk yang bagian depannya disulap menjadi sebuah kios atau toko kecil. Menurut Syamsul Hadi, tuan rumah menyediakan segala macam yang dibutuhkan untuk menemani menghabiskan malam di tempat itu; ada bir, minuman tradisional brem, aneka soft drink, air mineral, kopi instan, susu dan minuman suplemen lainnya, kacang dan camilan instan lainnya, aneka tisu basah, juga kondom dengan harga yang paling murah.
“Benar kata dia, di sini memang lengkap. Mau tambah brem?” ujar laki-laki tambun itu. Dia datang dengan dua botol bir dan meletakkannya tepat di hadapan Syamsul Hadi. “Sehat-sehat, Bos? Tumben muncul lagi.”
Syamsul Hadi mengangkat sebelah tangannya dan laki-laki itu menyambutnya dengan sebuah tepukan keras dan hangat. “Mana Nyonya Besar?” tanya Syamsul Hadi kemudian.
Tidak berapa lama kemudian, seorang perempuan 50-an tahun muncul dari dalam rumah. Wajahnya disaput make up yang cukup mencolok. Dia menggunakan kacamata bergagang warna pink yang tenggelam oleh rambut sebahunya dengan warna yang hampir sama. Perempuan itu segera mendekat dan keningnya tampak berkerut-kerut. Lalu dengan tenang, dia melolos sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja. Dia menunduk ke arah Syamsul Hadi yang bersiap menyalakan pemantik ke ujung bibirnya.
“Oh, penjahat sialan!” ujar perempuan itu setelah sepengisapan pertama. “Langganan paling setia. Ck ck ck… saya pikir kamu sudah lupa tempat ini.”
“Tak mungkin, Mi. Tak mungkin,” tanggap Syamsul Hadi sebelum kemudian mereka berangkulan.
Perempuan itu adalah Mami Ros, pemilik sekaligus pengelola tempat itu. Dari perbincangan yang terus mengalir bersama Mami Ros, Ahmad Saleh dan Fahmi Idris tahu bahwa Syamsul Hadi kerap mampir ke tempat itu. Makanya tidak heran, kalau Mami Ros terlihat begitu akrab dengan Syamsul Hadi.
“Tapi belakangan ini memang sepi,” cerita Mami Ros. “Anak-anak juga jarang masuk. Mungkin malas keluar, hujan terus tiap malam. Baru-baru ini juga ada razia di mana-mana. Tapi, saya punya anak baru, lho… Sebentar akan saya kenalkan. Kalian pasti berminat…”
“Lebih baik tak usahlah, Mi,” sela Syamsul Hadi.
Mami Ros tertawa. Lalu katanya,”Tumben kamu bilang begitu. Jangan-jangan kamu sudah bukan laki-laki lagi. Atau sudah hijrah, ya?”
Syamsul Hadi menimpalinya dengan tawa. Begitu juga dengan Fahmi Idris dan Ahmad Saleh yang kini tampak lebih santai dan bisa tertawa-tawa lepas. Barangkali mereka berdua memang sudah bisa menyesuaikan diri. Dan jika kejadiannya memang seperti itu, pastilah faktor utamanya adalah tiga botol bir yang terus-menerus dituangkan oleh Syamsul Hadi ke dalam gelas mereka; tiga botol bir dengan campuran sebotol brem yang kini tinggal setengahnya. Belum lagi, sejak selepas Maghrib, mereka juga telah menenggak minuman yang sama. Syamsul Hadi telah menelepon mereka berdua dan membujuknya untuk bertemu di suatu tempat. Mereka jarang bertemu, terutama sejak Syamsul Hadi menjadi seorang jurnalis di sebuah surat kabar lokal. Rupanya, pertemuan malam itu untuk merayakan genap satu bulan hengkangnya Syamsul Hadi dari perusahaan media tempatnya bekerja selama ini.
“Saya kemari hanya ingin berkunjung, Mi. Lagi pula, saya tak ingin menjerumuskan kedua kawan saya ini. Mereka terlalu lugu untuk hal-hal semacam ini. Hahaha!” tanggap Syamsul Hadi seraya tertawa.
Kelakar Syamsul Hadi itu menular dalam kerumunan kecil itu. Ahmad Saleh dan Fahmi Idris semakin menjadi-jadi. Ahmad Saleh bahkan memesan dua botol bir lagi dan langsung menuangkannya ke dalam gelas masing-masing. Lalu mereka berdua mengajak Syamsul Hadi untuk mengangkat gelas bersama-sama.
”Untuk kawan Syam yang tidak lugu dan penuh dosa!” kelakar Fahmi Idris kemudian.
Dalam sekejap, tempat itu pun kembali dipenuhi suara tawa. Mami Ros yang belum juga beranjak dari tempatnya, lebih banyak mendengarkan dan menimpali sekadarnya. Sementara itu, gerimis tampaknya semakin membesar. Suara rintiknya terdengar jelas menimpa atap-atap seng yang menaungi sebagian dari bangunan yang ada di tempat itu. Sebuah botol bir pun kembali menganga. Kali ini Syamsul Hadi yang menuangkannya ke dalam gelasnya sendiri. Busa segar bir yang telah dioplos dengan brem itu selalu meluber ke bibir gelas dan merembet membasahi meja di hadapannya. Setelah berusaha menenggaknya dengan saksama, dia bangkit perlahan dan berjalan dengan sempoyongan ke toilet. Namun, tidak sampai lima langkah, sesuatu telah terjadi pada Syamsul Hadi. Tubuhnya limbung dan dia memilih untuk jongkok. Lalu yang terjadi kemudian mudah ditebak: muntah. Melihat itu, Fahmi Idris segera menghampirinya. Dipijatnya tengkuk Syamsul Hadi seraya berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri.
“Keluarkan semua, kawan! Ayo, keluarkan semua, bajingan! Biar enteng!”
Barangkali, hanya usus Syamsul Hadi saja yang tidak keluar dari dalam perutnya. Seluruh isi perutnya terkuras habis dan itu membuatnya merasa lebih plong sekaligus lemas. Mami Ros menawarinya untuk meminum teh hangat, tapi dia menolaknya. Setelah menyalakan sebatang rokok, dia terduduk lesu dan merebahkan kepalanya di atas meja. Rokok di tangannya baru saja sepengisapan, ketika suara dengkurnya mulai terdengar. Mami Ros mencomot rokok yang sudah terbakar itu dari tangannya dan mematikannya di atas asbak.
“Dia selalu seperti ini,” ujar Mami Ros. “Meski begitu dia tak pernah bikin keributan di tempat ini. Tapi dia pernah beberapa kali bikin onar di sebelah.”
“Di tempat karaoke itu, maksudnya?” timpal Ahmad Saleh dan Fahmi Idris hampir bersamaan.
Mami Ros mengangguk. Fahmi Idris dan Ahmad Saleh saling pandang barang sebentar.
Tanpa diminta, Mami Ros pun bercerita bahwa Syamsul Hadi memang kerap berkunjung ke Kasanofa Karaoke. Awalnya untuk menunaikan tugas kantor: meliput seluk-beluk pekerja hiburan malam. Pada masa-masa seperti itulah, Syamsul Hadi memiliki hubungan dekat dengan seorang pemandu lagu. Masalahnya, jurnalis muda itu benar-benar jatuh hati, dan itulah yang membuatnya semakin sering berkunjung. Melansir seorang penjaga keamananan yang kebetulan masih keluarganya, Mami Ros menyinggung sebuah peristiwa yang membuat Syamsul Hadi menaruh dendam dan kebencian pada pub-karaoke itu.
“Dia benar-benar teler, mabuk berat malam itu,” jelas Mami Ros. “Dia kalap, membabi buta dan memukul seseorang yang sedang bersama pemandu lagu itu. Kacaunya, bukan laki-laki itu saja yang kena bogem mentahnya, tapi juga perempuan itu. Ya, mau bagaimana? Urusan itu berlanjut sampai ke polisi. Apa kalian benar-benar tak pernah dengar kejadian itu?”
Fahmi Idris dan Ahmad Saleh menggeleng. Mereka merasa belum pernah mendengar cerita itu baik secara langsung dari Syamsul Hadi maupun dari seseorang yang lain.
“Kalian tahu, siapa laki-laki yang kena bogem mentahnya itu?” lanjut Mami Ros. “Dia anak seorang pejabat. Nah, pejabat itu punya saham di perusahaan surat kabar tempatnya bekerja. Bisa dibayangkan, kan?”
Dalam pengaruh dahsyat alkohol, dua kawan karib itu berusaha untuk tetap mendengarkan cerita dari Mami Ros. Mereka kadang tergelak begitu saja atau tiba-tiba terdiam berusaha mencerna apa yang diucapkan oleh mucikari yang ramah itu.
“Kawan kalian ini tak sampai masuk penjara. Syam diminta mengganti biaya rumah sakit dan minta maaf secara terbuka. Tapi begitulah, dia dikeluarkan dari tempatnya bekerja. Kurang lebih tiga bulan lalu. Kalian tak tahu, ya?”
Fahmi Idris dan Ahmad Saleh berusaha mengingat-ingat, meyakinkan dirinya sendiri bahwa sebelumnya Syamsul Hadi memang pernah menyinggung sesuatu berkaitan dengan itu. Lantas, Fahmi Idris dengan kesadarannya yang lebih stabil, segera angkat bicara.
“Oh, kalau yang itu dia sempat cerita. Tapi katanya sebulan lalu…”
“Dia pasti bohong,” tukas Mami Ros. “Sudah tiga bulanan, dan hampir tiap hari dia datang ke tempat ini sejak kejadian itu. Kecuali sebulan terakhir, dia tak pernah kelihatan batang hidungnya.”
“Tapi kenapa ya, dia begitu benci dengan tempat karaoke itu?” timpal Fahmi Idris.
“Sejak baku hantam malam itu, dia tak boleh lagi menginjakkan kakinya di sana. Dia selalu diusir. Itulah yang terjadi,” jelas Mami Ros.
Fahmi Idris tampaknya belum cukup puas dengan apa yang telah diceritakan oleh Mami Ros. Di antara kesadarannya yang timbul tenggelam, dia berusaha mengajukan sejumlah pertanyaan lagi. Dia begitu penasaran dengan keberadaan perempuan yang telah membuat Syamsul Hadi menjadi jatuh hati sedemikian rupa itu. Namun, rupanya Mami Ros enggan menanggapinya. Kisahnya masih panjang, katanya—dan sebentar lagi sudah subuh.
“Saya mau istirahat,” ujar Mami Ros. “Kalau kalian masih mau begadang, silakan! Tapi kalian sepertinya butuh teman. Dingin-dingin begini, masak kalian tidak mau ngamar?”
Fahmi Idris dan Ahmad Saleh tersenyum-senyum kecil. Mami Ros masih menunggu beberapa saat. Tempat itu berangsur-angsur sepi. Sejumlah orang telah membubarkan diri. Seorang perempuan dan seorang laki-laki belum lama keluar dari sebuah bilik. Mami Ros melambai, dan tidak lama kemudian perempuan itu datang bergabung dengan mereka.
“Ini Feni, anak baru mami,” ujar Mami Ros. “Kalian pasti suka.”
Mami Ros memasuki pintu rumah induk ketika laki-laki tambun itu mulai menutup tokonya. Cahaya lampu berkurang dan suasana pun semakin remang. Ahmad Saleh menuang sisa brem ke dalam gelasnya—kali ini murni tanpa campuran bir dingin. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian menenggaknya. Untuk beberapa saat tidak ada yang berbicara. Fahmi Idris memain-mainkan sebuah pemantik dan tersenyum-senyum sendiri menatap nyala-padam pelita kecil di tangannya. Sementara Feni tidak putus-putus mengisap rokok seraya memandangi layar gawainya. Wajah Feni tampak suntuk dalam saputan make up tebal yang semestinya bisa menutupinya itu. Itu jelas bukan situasi yang diharapkan oleh Ahmad Saleh. Bagaimanapun, tubuhnya telanjur memanas oleh desakan-desakan gairah yang ingin segera dilepas-lesakkan.
“Bagaimana, Mbak?” ujar Ahmad Saleh, berusaha mencairkan suasana.
“Aduh, maaf sekali,” jawab Feni. “Saya harus segera pulang. Anak saya demam tinggi, nangis terus semalaman.”
“Astaga, harus cepat pulang, Mbak!” timpal Fahmi Idris spontan. ”Biar saya teleponkan taksi, ya?”
“Terima kasih. Ini penjemputnya sebentar lagi datang,” jawab Feni, seraya mengangkat gawainya untuk menjawab telepon dari seseorang.
Gerimis belum benar-benar reda. Ahmad Saleh berjalan pelan ke toilet. Fahmi Idris membakar sebatang rokok lagi dan mulai mengisapnya seraya menelisik suasana sepi di sekitar. Sesekali pandangannya mampir ke tubuh Feni yang berdiri menjulang dalam siraman remang cahaya lampu. Sesekali napasnya memburu. Dia bisa mendengar suara dengkur Syamsul Hadi, suara percakapan Feni, juga gemericik air dari dalam toilet.***
Ampenan, 8 Oktober 2020
Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Menulis cerpen, puisi, feature perjalanan, novel. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain Kota yang Berumur Panjang (Basa-basi, 2017—Kumpulan Cerpen), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020—Kumpulan Cerpen), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019—Feature Perjalanan). Selain menulis, ia juga menekuni desain—perwajahan buku dan media cetak. Mukim di Ampenan, Nusa Tenggara Barat.
Discussion about this post