• Tentang Nongkrong.co
Senin, 1 Maret, 2021
  • Login
nongkrong.co
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event
No Result
View All Result
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event
No Result
View All Result
nongkrong.co
No Result
View All Result
Home Cerpen

Hujan di Hutan Mimika

Cerpen Risda Nur Widia

redaksi by redaksi
Februari 22, 2021
in Cerpen
Reading Time: 5min read
0
Hujan di Hutan Mimika
0
SHARES
322
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Langit belum juga memuntahkan hujan. Padahal sudah dua bulan berlalu sejak hujan turun terakhir di Mimika. Keadaan semakin gersang. Sungai-sungai kering kehilangan air. Bila masih ada sungai yang mengalir pun, airnya sudah tercemar limbah beracun. Air sungai tersebut terlihat keruh dan berwarna kekuningan. Ikan-ikan—karena air yang kotor—tidak bisa hidup di sana. Diorama alam yang kritis itu ternyata sama seperti nasib para penduduk suku Amungme[1] yang sepanjang hidup terkepung dalam kehancuran lingkungan. Beban hidup yang diderita suku Amungme terjadi akibat perusahaan tambang asing di sana.

Sudah tidak ada yang dapat dilakukan oleh suku Amungme. Protes terhadap pemerintah sama dengan melakukan pemberontakan. Bila dibiarkan, bertambah nista saja nasib penduduk suku Amungme. Kau, sebagai seorang Kain[2], sudah kehilangan akal menyelamatkan nasib buruk uma[3] setelah banyak kerabatmu mati tertembak pasukan keamanan pabrik di hutan. Akhirnya banyak anggota suku yang murka karena penembakan itu. Kau sendiri tanpa jengah mencoba meleram hati penduduk agar berlapang dada. Apesnya derita dan penghinaan bertubi datang, kemudian membuat anggota sukumu memberontak. Mereka bahkan banyak yang memilih bergeriliya ke hutan untuk melawan.

”Ko pu akal bahaya!” katamu pada putra tunggalmu suatu hari ketika ingin ikut masuk ke dalam hutan dengan anak muda lainnya. “Jiwa ko bisa melayang!”

“Sa pusing, Papa! Torang lebih baik lawan daripada mati hina kelaparan!” jawab pemuda itu.

“Ko pu hidup masih lama,” kau terus mencoba meleram gejolak hati putramu. “Tinggalah di uma!”

“Sa trada bisa, Papa!” Pemuda itu tertunduk sejenak. “Sa harus pergi!”

Pemuda itu akhirnya pergi meningglkanmu di pagar pembatas honai-honai.[4]

Kini banyak anggota suku yang hidup dengan cara bergeriliya untuk membalas penembakan tanpa alasan dari petugas keamanan pabrik tambang. Mereka seakan sudah kenyang hidup ditindas seperti hewan di tanah kelahirannya sendiri. Bahkan, belum lama ini, lima orang bocah tewas direnggut peluru petugas keamanan pabrik karena dikira ingin membuat onar. Padahal mereka hanya ingin mencari kayu bakar. Tidak pelak, upacara potong jari sebagai tanda berkabung pun akhirnya tiada henti diadakan.

Kau, sebagai seorang Kain, seorang pemimpin uma, sudah habis akal untuk mendinginkan hati anggota sukumu. Kau tidak mampu membendung keras hati para pemuda di uma karena amarah perbuatan keji pabrik tersebut. Sikap para anggota suku memang telah jauh lebih keras daripada cor beton dinding-dinding penambang di ujung sana. Tetapi kau tidak ingin terjadi keributan. Kau tidak ingin ada pertumpahan darah. Hanya saja kau tidak tahu harus berbuat apa untuk menghalangi semua itu terjadi.

Mendadak, hatimu ngilu. Rasanya kau belum sanggup bila kehilangan lagi. Apalagi setelah kematian kakak kandungmu beberapa bulan lalu. Kau tidak ingin kehilang putramu seperti kebanyakan para griliyawan lain. Kau sadar, di dalam hutan, putramu tidak hanya bersembunyi. Mereka di sana membentuk pasukan pemberontakan untuk melawan, atau menculik para pekerja pabrik tambang. Mereka di sana mencoba mencari jalan lain untuk bebas. Walau pada akhirnya, mereka tetap saja dianggap memberontak.

Lemas tubuhmu membayangkannya. Kau hanya berharap putramu baik-baik nasibnya. Sejenak, kau memejam mata dan berdoa pada Sang Penguasa Semesta agar nasib malang tidak menimpa putramu. Kau ingat betul, setiap kali adu tembak terjadi, pasti seorang anak asli suka tewas mengenaskan. Bahkan belum lama ini, saat terjadi kerusuhan di hutan—di tengah malam buta—lima pemuda suku mati. Tubuh mereka koyak-moyak karena diterjang peluru penjaga pabrik. Tubuh-tubuh itu lantas membusuk dikrikiti ikan-ikan kecil di tepi kali.

Kau bergidik menyudahi doamu sekaligus memikirkan hal-hal buruk lainnya. Tuhan mungkin sedang menguji para anggota uma, pikirmu melerai ketakutan di hatimu.

***

Matahari menyengat. Sepasang matamu meloncat ke arah wamai[5] yang berada di samping honai-honai reot. Tampak hewan-hewan malang itu kelaparan. Tubuh hewan-hewan itu kurus. Bahkan, jumlah hewan-hewan malang tersebut terus menyusut setiap hari. Ada yang mati karena tidak kebagian makan, atau terkena penyakit dari musim kering. Padahal babi-babi itu adalah sumber makanan cadangan bagi anggota suku Amungme di tengah kekurangan makanan begini. Rasanya, rumput yang kau cari—yang setiap waktu semakin berkurang—tidak cukup untuk mengganjal nyawa babi-babi tersebut.

Pagi ini, selain babi yang mati, ada pula seorang bocah berumur satu yang kembali dijemput ajal. Kering tubuh bayi itu meringkuk di gendongan mamanya. Bibirnya pecah-pecah. Perut cembung membusung. Kulitnya menguning. Bocah itu mati karena kekurangan cairan dan makanan bergizi—atau malah keracunan. Sepasang payudara mamanya sudah tak mampu menanggung beban hidup si bocah. Kau terhenyak dalam duka.

“Sabarlah, semua ini akan berlalu!” katamu.

“Sampai kapan torang dapat bertahan begini?” sahut seorang mama.

“Dikit lagi torang juga menyusul mati seperti tu!” tambah yang lainnya.

“Trada nasib baik buat torang semua!” Yang lain terus menambahi. “Matilah! Matilah!”

Kata-katamu untuk menentramkan hati seakan tidak digubris. Sebagai seorang Kain, hatimu ngilu mendengar semua keluhan itu. Kau seolah tidak berguna; tiada dapat lagi menjaga ketentraman dan kesejahteraan uma. Kau merasa sudah gagal melanjutkan cita-cita nenek moyang, dan para pemimpin terdahulu untuk membuat segalanya baik.

Tidak kuasa menahan hati dari perasaan sedih itu, limbung kau meninggalkan uma. Kau pergi menyendiri ke sebuah sungai dengan air keruh di ujung uma. Rasanya sekali lagi, kau ingin memotong jarimu; menebus dosa dan kesedihan bagi warga kampungmu. Namun, kesepuluh jari tanganmu sudah habis untuk menebus seluruh duka itu.

“Bagaimana cara torang menyelamatkan mereka?” tanyamu.

Sejenak kau termenung. Hening. Tiada kicau burung yang melatari tempat itu. Kau mendadak merasa semua telah berubah di depanmu. Bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Semuanya rusak dan hancur karena alam yang dibabat rata oleh perusahan tambang. Hatimu menjadi melankoli, dan seketika sekelebat kenangan menubruk kepalamu. Kau ingat masa kecil dahulu: Saat kau masih bisa berlari bebas melihat hewan-hewan di hutan, memetik buah-buah manis di pohon-pohon yang tumbuh subur, atau berburu ikan di sungai yang jernih. Namun kini semua itu hilang karena eksploitasi tambang.

Kehancuran mengintai setiap kehidupan makhluk: pembabatan hutan, pencemaran sungai, dan penggusuran tempat tinggal. Perusahaan tambang bagai melumat habis semuanya. Mata paruh bayamu itu akhirnya hanya bisa mengerling ke arah sungai yang buruk rupa serta kepul asap tebal mesin-mesin perusahaan tambang.

***

Para Dewa seolah mendengarkan doa sukumu. Gumpalan awan mendung mulai mengepung perbukitan Mimika. Menyadarinya, terbetik secercah harapan di hatimu. Kau lekas menarik kakimu pulang. Kau menyuruh kepada anggota uma untuk menyiapkan wadah-wadah air di depan honai. Setiap mata risau memandang langit. Penduduk berharap agar hujan cepat turun.

“Dewa beri torang hidup lama! Lekaslah hujan!” kata seorang anggota uma.

“Selamatkan kami!”

“Torang sudah trada kuat dengan derita ini!”

Demikian juga yang kau lakukan. Sebagai seorang  Kain, kau mengusahakan dengan berdoa di dalam honai. Bibirmu khusuk merapal mantra-mantra. Kau berharap agar Dewa lekas memberi berkah kepadamu.

Tiga puluh menit berlalu. Hujan belum turun. Ratap putus asa mulai menebal di atas permukaan wajah-wajah anggota sukumu. Mereka takut hujan tidak turun lagi. Seperti lusa kemarin misalnya, ketika anggota sukumu berjam-jam hanya termangu memandang mendung yang lebih mirip kepul asap dari corong-corong pabrik penambangan daripada hujan.

“Lekaslah beri torang semua hujan!” kau memohon.

Sekali lagi, para Dewa menjamah anggota suku. Petir menggelegar. Dua kali. Suara petir berikutnya diikuti letus tembakan dari tengah hutan. Hujan pun turun. Namun mendengar itu, kau terperanjat. Bahkan tak lama berselang, tembakan kembali terdengar keras serta bertubi-tubi. Ledakan juga menyusul dari arah perusahaan tambang itu.

Apa yang sedang terjadi? Apakah pertempuran kembali berlangsung? Pikirmu masygul.

Di tengah lamunan, kau ingat putra bungsumu yang memilih masuk hutan. Gemetar, tubuhmu membayangkan hal-hal buruk. Kau gesit menerjang hujan. Terseok-seok langkahmu berlari ke arah sumber tembakan itu. Sesampainya di tepi sungai, kau melihat tubuh-tubuh mengapung dengan air berwarna darah. Kau juga melihat sesosok tubuh pemuda yang kau cintai terkoyak dirajah peluru.***

catatan :

[1] Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang tinggal di dataran tinggi Papua Indonesia.

[2] Kain, kepala suku

[3] Uma, Kampung/Desa

[4] Honai-honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang.

[5] Wamai, kandang babi

blank

Risda Nur Widia. Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Tags: amungmehujanrisda nur widia
Next Post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Discussion about this post

  • Trending
  • Comments
  • Latest
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
NONGKRONG. CO AWARD

NONGKRONG. CO AWARD

Februari 15, 2021
edit post
Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Februari 20, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

0
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (2)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (2)

0
edit post
Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Februari 27, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Februari 21, 2021
ADVERTISEMENT

Terbaru

edit post
Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Februari 27, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Februari 21, 2021
edit post
Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Februari 20, 2021
  • Disclaimer
  • Redaksi nongkrong.co
  • Kirim Tulisan
  • Tentang nongkrong.co

© 2020 Nongkrong.co - Tak selalu omong kosong

No Result
View All Result
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event

© 2020 Nongkrong.co - Tak selalu omong kosong

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In