• Tentang Nongkrong.co
Senin, 1 Maret, 2021
  • Login
nongkrong.co
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event
No Result
View All Result
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event
No Result
View All Result
nongkrong.co
No Result
View All Result
Home Cerpen

Kedai Kopi Pengusir Sepi

Cerpen Arafat Nur

redaksi by redaksi
Januari 6, 2021
in Cerpen
Reading Time: 8min read
0
Kedai Kopi Pengusir Sepi
0
SHARES
1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

blank

Kedai kopi itu selalu buka petang hari, tidak pernah libur sehari pun, bahkan di tengah wabah yang perlahan-lahan mulai merebak ke Kota Banda. Ayah Banta, lelaki enam puluhan pemilik kedai kopi itu, mulai cemas melihat perubahan keadaan yang semakin memburuk. 

Setiap kali menyaksikan siaran berita televisi di rumahnya, Ayah Banta langsung membayangkan andai kata wabah ganas itu menjangkiti penduduk dan membuat usaha kedai kopinya yang sudah menjadi warisan turun-temurun tutup. Sebisa mungkin, dia pun berusaha mencegah, tanpa harus menutup usahanya itu.

“Mohon maaf, Saudara-saudara,” ujar Ayah Banta agak berat kepada setiap pelanggannya yang datang. “Ini sudah menjadi aturan. Silakan cuci tangan dulu dan pakai masker.” 

“Kalau pakai masker, bagaimana kami bisa minum kopi, Ayah?” tanya seorang pelanggan.

“Waktu minum, Bapak bisa membukanya,” jawab Ayah Banta kalem.

Ayah Banta telah menyediakan dua tempat cuci tangan di pekarangan kedai kopinya yang luas dengan tulisan “Wajib Cuci Tangan dan Pakai Masker Sebelum Masuk”. Sebagian pelanggan dengan suka rela melakukannya, sebagian lagi merasa terpaksa, dan ada juga yang menghindar dan luput dari perhatian Ayah Banta.

***

Kedai kopi itu terletak tidak jauh dari pusat Kota Banda Aceh, berdinding papan setengah terbuka, dinaungi dua batang beringin tua, berhalaman luas, dan tidak terlalu mencolok. Kedai kopi itu memiliki pelanggan setia. Mereka adalah penikmat kopi murni racikan ribuan tahun lalu yang terus dijaga cita rasanya oleh Ayah Banta sebagai warisan keluarga turun-temurun.

Untuk tetap menjaga cita rasa kopinya, Ayah Banta terus melanjutkan bisnis kedai kopi Pengusir Sepi dari ayahnya yang hanya buka pada petang hari. Beda dengan kedai kopi dan kafe-kafe lain, kedai kopi milik Ayah Banta tidak terlalu mengejar omzet sehingga tidak pernah buka di pagi hari, betapa pun banyak pelanggan lain yang akan datang. Ayah Banta hanya berusaha menjaga kepuasan pelanggan, sekalipun berjumlah sedikit.

Meskipun tidak banyak, pelanggannya tidak pernah berkurang. Kalaupun bertambah hanya satu orang dalam dua tiga bulan. Sekarang jumlah pelanggannya ada lima puluh lima orang dan sebagian besar mereka adalah orang-orang yang berusia lima puluh tahunan ke atas. Kalau tidak salah, hanya ada lima pelanggan yang berusia tiga puluhan dan telah berkeluarga.

Tidak ada seorang pun pelanggan remaja yang biasanya pergi ke kedai kopi dengan tujuan ganda, yaitu minum kopi sambil online atau mencari hiburan. Di kedai kopi Pengusir Sepi tidak ada televisi dan tidak dipasang WiFi. Yang ada hanya dua edisi surat kabar terbitan Banda Aceh dan Medan yang tiba secara bersamaan di siang hari menjelang sore. 

Kedai kopi Ayah Banta hanya mengkhususkan pelanggannya untuk betul-betul menikmati kopi racikannya sambil bercengkerama dan mengobrol satu sama lain layaknya sebuah perkumpulan keluarga atau perkumpulan kerabat handai taulan yang tidak mau hidupnya sepi. Kedai kopi itu—sebagaimana namanya—coba menawarkan kenikmatan hidup yang bisa didapatkan dari cita rasa kopi sambil mengusir sepi.

Mereka yang telah mencicipi kopi murni racikan Ayah Banta tidak pernah berkhianat beralih ke kedai kopi atau kafe-kafe lain yang sekarang tumbuh berjamuran. Umumnya, kedai kopi dan kafe-kafe lain itu memang semata bertujuan bisnis untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

“Alhamdulillah,” kata Ayah Banta kepada beberapa pelanggan yang menanyainya. “Sejak kedai kopi ini didirikan pada zaman Belanda dulu oleh kakek buyutku, aku tidak pernah mendengar ada rugi atau juga laba yang terlalu besar. Usaha kedai kopi ini terus saja berjalan, sebagaimana kereta api zaman dulu yang tidak ada hambatan.”

***

Keresahan orang-orang terhadap wabah korona yang kabarnya berasal dari Wuhan, China itu sangat mengganggu semua orang, tidak terkecuali sesama pelanggan di kedai kopi Pengusir Sepi. Awalnya, sesama pelanggan, setiap kali jumpa mereka selalu berjabatan tangan, dilanjut dengan saling sapa dan candaan. Bahkan, Ayah Banta sendiri menyalami mereka semua, layaknya tuan rumah yang menyambut tamu dengan riang gembira di sebuah acara sederhana pesta keluarga.

Tidak ada seorang pun di antara pelanggannya yang tidak dia kenali dengan baik. Bagi Ayah Banta, merekalah yang sesungguhnya benar-benar sebagai saudara, baik secara fisik maupun batin. Semuanya dekat dengan Ayah Banta sebagai keluarga, atau setidaknya teman karib. Setiap kali pelanggannya menggelar acara, entah itu hajatan sunatan, perkawinan, ataupun berbagai kenduri lainnya, dia selalu hadir layaknya keluarga dekat.

Ayah Banta menghadiri semua acara itu tanpa perlu menutup kedai kopinya, sebab kebanyakan acara itu digelar pagi hari, kecuali kenduri kematian. Bila dia menghadiri kenduri kematian, biasanya selepas magrib, dia bisa menitipkan kedai kopinya kepada pelayan setianya. Selain itu, Ayah Banta selalu ada di sana, mengawasi pengunjung agar terlayani dengan baik, dan mengajak mereka berbincang-bincang akrab sambil tertawa.

“Bagaimana ini Ayah Banta? Kalau keadaan semakin parah, kita tidak bisa lagi minum kopi di sini? Pemerintah melarang kita untuk berkumpul,” kata salah seorang pelanggan yang tidak bisa menyembunyikan keresahannya.

“Kita harus menuruti anjuran pemerintah. Itu sangat penting. Kalau dilarang tidak boleh berkumpul, kita jangan berkumpul,” tanggap Ayah Banta tenang.

“Lha, Ayah mau menutup kedai kopi ini?” tanya pelanggan itu terkejut.

“Kalau bisa tetap buka, kenapa harus tutup?” tanya Ayah Banta balik.

“Aku tidak mengerti maksud Ayah.”

“Begini,” lanjut Ayah Banta. “Kalau pemerintah melarang kita berkumpul, kita jangan berkumpul. Besok kusuruh pelayanku, Mamat, untuk mengatur jarang-jarang kursi dan meja. Kalau tidak muat di dalam, aku akan menyusunnya di luar. Lihat itu, halamannya cukup luas. Yang penting kita harus ikuti protokol kesehatan, cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak.”

***

Selama penerapan protokol kesehatan di kedai kopi Pengusir Sepi, bukannya tidak ada kendala dan sempat menjadi masalah serius yang dibahas berbulan-bulan. Masalahnya, seorang pelanggan enam puluhan yang disapa Kek Naim bersikeras menolak cuci tangan dan pakai masker.

“Ini sudah aturannya, Kek Naim” paksa Ayah Banta terhadap kekek yang memang terkenal bandel itu. “Kek Naim harus cuci tangan dan pakai masker.”

“Untuk apa aku harus cuci tangan dan pakai masker?” tantang Kek Naim kesal. “Seharian aku tidak pernah ke mana-mana dan aku tinggal sendirian di rumah. Tidak ada satu orang pun yang kujumpai. Dari mana pula virus itu bisa menular padaku?”

“Kek Naim benar,” kata Ayah Banta bersikap tenang. “Tapi ini peraturan. Sekadar cuci tangan dan pakai masker, apa susahnya?”

“Bagiku itu sangat susah,” balas Kek Naim. “Pertama, setiap kali cuci tangan aku harus mengelapnya. Aku tidak nyaman dengan tangan basah. Yang kedua, aku terganggu harus menutup mulut dan hidung selagi minum kopi. Yang ketiga, aku memang tidak punya masker.”

“Oh, kalau itu masalahnya,” kata Ayah Banta coba menyunggingkan senyum, “Aku akan menyediakan sapu tangan khusus untuk Kek Naim dan aku juga akan memberikan masker gratis.”

“Aku tetap tidak mau,” sambar KekNaim bersikeras. “Untuk apa aku melakukan semua itu, sedangkan aku tidak terkena virus dan tidak akan menularkan kepada orang lain?”

Ayah Banta kehilangan akal. Setelah berpikir sesaat dia berujar, “Masalahnya bukan itu. Kalau tidak mengikuti aturan, malah orang lain yang akan menularkan virus itu kepada Kek Naim.”

“Ah, omong kosong. Aku tidak percaya aturan itu semua!”

***

Sejak hari itu terjadi perpecahan di kalangan pelanggan, yaitu kubu yang memihaknya dan membenarkan tindakan Ayah Banta untuk menegakkan aturan dan kubu yang tidak setuju dengan tindakan Ayah Banta yang berlebihan terhadap seorang kakek yang jelas-jelas hanya tinggal sendirian di rumah sebagai karyawan pensiunan yang tidak berhubungan dengan siapa pun.

Sikap tegas Ayah Banta perlahan-lahan melunak. Dia tidak begitu tegas lagi menegakkan aturan cuci tangan dan pakai masker. Selain tidak ingin membuat sejumlah pelanggan tidak nyaman, kedai-kedai kopi dan kafe-kafe lain juga tidak memaksakan pelanggannya untuk cuci tangan dan pakai masker. Jadi, mereka yang cuci tangan dan pakai masker adalah atas kemauan dan kesadaran sendiri.

Namun, orang-orang yang memiliki kesadaran sendiri pun makin lama kian berkurang. Mula-mula rajin cuci tangan setiap kali datang, setelahnya jarang-jarang cuci tangan,dan selanjutnya memang malascuci tangan karena merasa menyita waktu dan tangan tidak sedang kotor. Bahkan, anehnya, di saat virus itu semakin parah merebak, orang yang cuci tangan dan pakai masker kian sedikit. Parahnya lagi, banyak tempat cuci tangan di kedai kopi, kafe, dan toko-toko tidak tersedia lagi.

“Ayah Banta,” sapa Kek Naim yang pernah bersiteru dengannya dulu dan sekarang mereka sudah berdamai. “Aku ingin bertanya.”

“Iya, silakan,” balas Ayah Banta.

“Dulu, sebelum korona parah dan yang terinfeksi masih puluhan dan yang meninggal hanya satu dua di Aceh, orang-orang begitu panik ketakutan semua, termasuk Ayah Banta sendiri. Apakah benar begitu?” tanya Kek Naim.

“Ya, benar sekali,” jawab Ayah Banta.

“Sekarang, di saat wabah korona semakin menggila, terutama di Aceh, dengan korban terinfeksi empat ribuan dan yang meninggal seratus lima puluhan, kenapa kita tidak ketakutan lagi?”

“Iya, ya,” sahut Ayah Banta tercenung beberapa lama.

“Kenapa jawaban Ayah singkat sekali, padahal pertanyaanku sangat panjang?”

“Karena aku juga bingung,” kata Ayah Banta. “Aku sendiri merasa aneh, kenapa aku dan juga orang-orang tidak panik ketakutan seperti saat awal kita mendengar kabar virus yang menggemparkan dunia itu.”

“Menurut Ayah kenapa?”

Setelah termenung sesaat, Ayah Banta pun berkata, “Mungkin karena kita tidak pernah melihat korban korona yang mati secara langsung. Bisa jadi juga, korban yang terjangkit wabah lehernya tidak putus dan tubuhnya tidak berdarah-darah. Kenyataannya orang-orang yang mati terkena wabah itu bertubuh utuh, tidak ada yang badannya hancur dan anggota badannya lepas.”

“Jadi tindakan Ayah bagaimana?” 

Pertanyaan itu menggugah kembali ruang sadar Ayah Banta. Setelah berpikir sejenak, dia pun berkata, “Aku harus menerapkan kembali protokol kesehatan demi keselamatan kita semua. Mulai besok, aku memberlakukan kembali wajib cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak kepada siapa pun pengunjung kedai kopi ini. Kita yang tua-tua ini, yang paling rentan jadi sasaran virus, sebaiknya jangan cepat mati dulu!”

***

Tidak lama setelah Ayah Banta menegakkan protokol kesehatan di kedai kopinya, Kek Naim tidak pernah muncul lagi di kedai kopi Pengusir Sepi. Seseorang teman akrab si Kakek mengabarkan bahwa dia telah membawa Kek Naim ke rumah sakit karena terserang demam dan batuk-batuk. Kek Naim harus dirawat inap di ruang khusus yang disediakan rumah sakit.

Berselang seminggu, seorang pelanggan lagi tidak hadir, mengalami penyakit serupa Kek Naim. Hanya selang sehari selanjutnya, satu pelanggan lagi masuk rumah sakit. Keesokan harinya, dua orang lagi masuk ke rumah sakit. Dan dalam dua minggu itu, kedai kopi Pengusir Sepi kehilangan tujuh pelanggan setia.

Dari hasil tes swab kemudian di ketahui kalau ketujuh orang tua itu positif terjangkit virus korona. Para pelanggan pun saling curiga satu sama lain siapa sesungguhnya yang telah lebih dulu menularkan virus itu kepada para pelanggan di kedai kopi Pengusir Sepi milik Ayah Banta.

Jumlah pengunjung kedai itu pun kian berkurang sampai akhirnya tidak ada seorang pun yang datang untuk menikmati kopi murni racikan rahasia yang dijaga Ayah Banta sampai sekarang. Tingkat ketakutan dan kecurigaan orang-orang pun sudah pada tingkat sangat parah.

Mula-mula mereka mencurigai bahwa wabah itu dibawa seseorang pelanggan. Lalu virus itu menginfeksi beberapa orang, hingga dicurigai Ayah Banta dan pelayannya juga terjangkit. Tahap selanjutnya, mereka tidak saja mencurigai manusia, melainkan kopi yang diracik Ayah Banta juga mengandung virus korona yang mematikan.

Kini, kedai kopi Pengusir Sepi itu benar-benar sunyi seperti bangunan tua terlantar. Pintu ruang penanak air dan penyeduh kopi tertutup rapat. Sedangkan halaman luasnya kosong dengan serakan daun kering dan kemasan-kemasan plastik yang entah dari mana. Dan kopi racikan yang tidak ada lagi pembelinya itu malah menjadi lebih terkenal dengan sebutan kopi korona.[]

~Ponorogo, September 2020.

 

Keterangan:

Cerpen yang semula berjudul Kopi Korona ini memenangkan harapan II Sayembara Cerpen Dinas Pariwisata Aceh 2020.

 

 

blank

ARAFAT NUR. Dosen STKIP PGRI Ponorogo, penulis puisi dan prosa yang cerpen dan novel-novelnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Cerpen Lelaki Ladang diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Man of the Fields. Sedangkan novelnya Burung Terbang di Kelam Malam diterjemahkan menjadi A Bird Flies in the Dark of Night, dan Lolong Anjing di Bulan dengan judul terjemahan Blood Moon Over Aceh. Buku kumpulan cerpennya yang telah beredar luas adalah Serdadu dari Neraka (Diva Press, 2019).

Tags: arafat nurcerpenkopinongkrongsastra
Next Post
Sebuah Refleksi pada Tanah Kelahiran

Sebuah Refleksi pada Tanah Kelahiran

Discussion about this post

  • Trending
  • Comments
  • Latest
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
NONGKRONG. CO AWARD

NONGKRONG. CO AWARD

Februari 15, 2021
edit post
Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Februari 20, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (1)

0
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (2)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (2)

0
edit post
Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Februari 27, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Februari 21, 2021
ADVERTISEMENT

Terbaru

edit post
Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Dualisme yang Tersimpan dalam film The Traitor

Februari 27, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (5)

Februari 24, 2021
edit post
Hujan di Hutan Mimika

Hujan di Hutan Mimika

Februari 22, 2021
edit post
Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Seri Mengenal Borges, Jorge Luis Borges (4)

Februari 21, 2021
edit post
Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Film Parasite: Karena Roda Hidup (Kadang) Tak Berputar

Februari 20, 2021
  • Disclaimer
  • Redaksi nongkrong.co
  • Kirim Tulisan
  • Tentang nongkrong.co

© 2020 Nongkrong.co - Tak selalu omong kosong

No Result
View All Result
  • Koprol
  • Cerpen
  • Esai
  • Buku
  • Film
  • Sejarah
  • Jagongan
  • Puisi
  • Event

© 2020 Nongkrong.co - Tak selalu omong kosong

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In